Setelah sekian lama kita berjalan dengan titik yang berbeda, akhirnya arus menemukan kita berdua di titik yang sama.
Waktu mempertemukan kita disaat yang tak tepat.
Kita menjalaninya masing-masing, tanpa berpikir untuk meleburnya menjadi satu. Aku ke kiri, dan titikmu berada di jalur kanan. Aku bertindak dengan caraku sendiri, kau pun begitu.
Tetapi entahlah, mungkin hari ini bulan dan matahari berada pada titik yang sama.
Jam dindingku menunjukkan pukul 11 lewat seperempat ketika kau menghubungiku.
Kau, yang dulu pernah berbagi suka dan duka bersamaku.
“Bagaimana kabarmu?”
Ah, suara itu. Aku masih ingat ketika aku tertidur dan kau menelponku. Suaramu yang berat dan serak, membuatku tersenyum sendiri sambil menatap dinding langit kamarku.
“Aku seperti ini karna aku takut kehilanganmu..”
Ya, aku tahu. Tetapi seluruh sikap posesifmu membuatku tak nyaman dan maafkan aku.
Kita terlalu lama berkubang dalam ruang masing-masing sehingga masih tak dapat mengenal satu dengan yang lain. Kau dan aku memerlukan waktu, yang tak bisa dikatakan singkat. Kita masih terlalu asing untuk mengikat sebuah janji.
“Apa kau sudah memiliki lelaki lain?”
Aku terlalu takut untuk menjawabnya langsung. Tak ingin jawabanku melukai hatimu untuk yang kesekian kalinya lagi.
Sengaja mengulur waktu ternyata membuatmu semakin penasaran dan aku habis cara.
“Dengan siapa?”
Apa aku perlu menjawabnya? Aku ingin mengelak, kalau bisa. Tetapi nadamu menyatakan kekecewaan yang membuatku semakin tak berdaya.
“Kau tega.”
Kata-katamu mengunci bibirku hingga membisu. Aku tahu, tetapi waktu tak mungkin dapat diputar kembali ke masa itu, ketika hanya ada aku dan dirimu.
Kau menangis, aku tahu itu.
Maafkan aku.
“Apa salahku?”
Kau tak salah apa-apa. Sungguh. Hanya waktulah yang membuat kita harus berpikir untuk menunda kebersamaan itu, hingga waktu cukup membuktikan kita memang dapat kembali melebur.
Namun, harus kuakui, memang ada satu yang mengganjal lidahku untuk memberitahumu. Aku tak ingin air mata kembali jatuh membasahi pipimu yang tirus. Maafkan aku.
“Bicaralah jujur, aku tak apa.”
Kurasa titikmu berjalan menuju jalurku. Sesuatu yang bernama takdir memang mengharuskan titik kita untuk bertemu.
Dan keluarlah berbaris-baris kalimat terputus-putus, yang bilamana mungkin kuganti dengan kalimat yang lebih tak membuatmu kembali rapuh seperti dulu.
Sekali lagi, maafkan aku.
Tapi titik temu itulah yang membuat hatiku lega, karena satu itu telah habis kukatakan. Biar semua kutanggung, kecewamu padaku, atau yang lainnya.
“Terima kasih.”
Ya, terima kasih.
Untuk semua kenangan yang pernah kau lukiskan dalam lembar kehidupanku, semua tawa dan canda yang membuat pipi seseorang merona, semua kehangatan yang menjalar ketika suaramu menyapa.
Terima kasih untuk segalanya, dan titik temu yang membuat kita tak lagi menebak-nebak.
Untuk E,
yang menemukan kembali titik temunya.